Pendekatan Keruangan 03


Pendekatan Regional Dalam Mengkaji Fenomena Geografi Secara Keruangan

Pengetahuan Dasar Geografi

= – = – =

Untuk mempelajari suatu fenomena/gejala/peristiwa geosfer baik peristiwa alam maupun non alam, Geografi memiliki 3 macam pendekatan yang berciri khas Geografi yaitu pendekatan Keruangan (Spatial Approach), pendekatan Lingkungan (Ecologycal Approach), dan pendekatan Kewilayahan/Kompleks Wilayah (Regional Complex Approach).
Ketiga pendekatan tersebut dapat digunakan secara terpadu dalam mengkaji permasalahan Geografi atau dalam kondisi tertentu cukup menggunakan salah satu saja.
Salah satu pendekatan yang sering digunakan dalam mengkaji fenomena alam/non alam secara Geografis adalah pendekatan Keruangan. Pendekatan Keruangan adalah pendekatan yang digunakan untuk mengetahui persebaran dalam penggunaan ruang yang telah ada dan bagaimana penyediaan ruang akan dirancang

Pendekatan Keruangan sendiri masih memiliki 3 jenis pendekatan yaitu pendekatan Topik, pendekatan Aktifitas dan pendekatan Regional. Pendekatan Topikal mengkaji masalah/fenomena geografi tertentu yang menjadi pusat perhatian. Pendekatan Aktifitas mengkaji fenomena geografi yang terjadi dari berbagai aktifitas alam/non alam yang terjadi. Pendekatan Regional mengkaji suatu fenomena Geografi dengan menekankan pada region sebagai ruang tempat gejala itu terjadi.

Baca Juga : Pendekatan GeografiPendekatan Keruangan-TopikalPendekatan Keruangan-Aktifitas ManusiaPendekatan Keruangan-RegionalPendekatan Lingkungan, Pendekatan Kewilayahan.

Pada posting ini akan dibahas sub pendekatan keruangan yaitu pendekatan Regional.
Pendekatan Regional adalah pendekatan yang mengkaji suatu gejala geografi dengan menekankan pada region sebagai ruang tempat gejala itu terjadi. Region adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang memiliki karakteristik tertentu yang khas.

Salah satu fenomena geografi yang dapat dikaji menggunakan pendekatan regional-keruangan adalah masalah kekeringan yang melanda daerah Karst Gunungsewu setiap musim kemarau.

Untuk mengkaji fenomena kekeringan ini terlebih dahulu kita perlu memahami wilayah karst yang mengalaminya.
Topografi kars menurut Milanovic (1991) adalah bentuk bentang alam tiga dimensional yang terbentuk akibat proses pelarutan lapisan batuan dasar, khususnya batuan karbonat seperti batugamping kalsit atau dolomit. Bentang alam ini mengakibatkan bentuk permukaan bumi yang khusus dan drainase bawah permukaan.

Akibat proses pelarutan dan pelapukan bentuk permukaan bumi di daerah karst di wilayah Karst Gunungsewu yang memanjang dari Gunungkidul bagian barat hingga Pacitan bagian selatan memiliki bentuk unik berupa daerah perbukitan dalam ukuran kecil-kecil yang banyak jumlahnya. Proses pembentukan ini membedakan daerah perbukitan karst dengan daerah perbukitan yang lain. Diantara perbukitan terdapat lembah-lembah yang dapat digunakan untuk berbagai aktifitas manusia mulai untuk tempat tinggal hingga kegiatan pertanian lahan kering (ladang).

Wilayah karst Gunungsewu berasal dari pengangkatan dasar laut dan terletak di tepi Samudera Hindia. Sebagai bentuk pengangkatan secara geologis maka daerah karst ini lebih tinggi dari pada wilayah sekitarnya seperti graben Bantul, Basin Wonosari hingga lembah Wonogiri. Berada di wilayah yang lebih tinggi maka pada saat terjadinya kondensasi pada awan rendah yang seharusnya menyebabkan hujan di atas wilayah karst, tetapi sering kali awan tersebut terdorong ke tempat lain oleh angin dari samudera Hindia sehingga daerah lain yang mengalami hujan. Hal inilah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kekeringan.

Faktor lain yang menyebabkan terjadinya fenomena kekeringan di daerah Karst Gunungsewu adalah struktur lapisan batuan di daerah karst yang berlapis-lapis dan rekah. Hal in menyebabkan air hujan yang jatuh membasahi kawasan Karst akan dengan cepat meresap ke bawah tanah dan turun ke lapisan batuan melewati rekahan-rekahan pada setiap lapisan batuan

Selain itu, jika ada air hujan yang tertampung di telaga, kadang telaga tersebut juga akan cepat kering. Rekahan-rekahan pada lapisan batu kapur ditembus oleh kekuatan air yang sedikit demi sedikit membentuk lobang yang akan dengan cepat membuat surut air telaga. Lubang tempat meresapnya air itu disebut dengan ponor

Semakin banyak rekahan yang ada di lapisan batuan kapur maka proses peresapan air ke bawah permukaan semakin cepat. Hal ini juga mempercepat terjadinya proses pelarutan bagian bawah permukaan bumi daerah karst sehingga membentuk gua-gua bawah tanah yang mengendapkan hasil pelarutan dan menyimpan air hasil resapan dari permukaan.

Jika melihat gambar penampang Topografi Karst di atas, maka sebenarnya wilayah karst bukan sepenuhnya daerah kekeringan tetapi daerah yang kaya air bawah tanah. Hanya masalah belum dimilikinya penguasaan kecanggihan teknologi saja yang menyebabkan air di daerah karst hanya tersimpan di bawah tanah dan tidak bisa dimanfaatkan.

= – = – =

Untuk memahami pendekatan regional dalam bentuk presentasi video dapat anda klik icon menuju link Youtube berikut ini.

Sumber Tulisan

  1. Daldjoeni, N. 1982. Pengantar Geografi. Bandung : Alumni
  2. Hermawan, Iwan. 2009. Geografi Sebuah Pengantar. Bandung : Private Publishing
  3. Sumaatmadja, Nursid. 1988. Studi Geografi Suatu Pendekatan dan Analisa Keruangan. Bandung : Alumni
  4. Sya, Ahman. 2011. Pengantar Geografi. Bandung : LPPM Bina Sarana Informatika
  5. Suharyono dan Moch. Amien. 2013. Pengantar Filsafat Geografi : Yogyakarta : Ombak
  6. Yunus, H.S. 2008. Konsep Dan Pendekatan Geografi : Memaknai Hakekat Keilmuannya. Disampaikan dalam sarasehan Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Geografi Indonesia. Yogyakarta : Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada

= – = – =

Terimakasih atas kunjungannya.

Mohon kritik dan sarannya

Selamat belajar. Semoga bermanfaat.